Senin, 01 Februari 2010

berharap..... dan berjuang.......

Di tengah berjuta harap, ada kecemasan panjang yang tak kunjung surut. Perubahan yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Harapan penuntasan korupsi, stabilitas ekonomi-politik, dan kedaulatan bangsa terkoyak oleh kekuasaan yang terus sibuk mengurusi dirinya.

Sungguh, kondisi ini sangat tidak aneh karena proses peralihan rezim kekuasaan hanya bersifat change to change dan transaksional, bukan lagi transisional. Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim “baru,” yang berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang berubah topeng dalam suasana reformasi.

Politik mengalami kondisi anomali. Sistem politik yang dibangun saat ini kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi. Akibatnya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.

Mungkin bisa jadi ini adalah konsekuensi dari pilihan perjuangan menggunakan diksi reformasi. Sekali lagi, inilah kemenangan semantik kelompok pro status quo. Reformasi akhirnya bersifat elusive jika dipaksakan untuk perubahan yang cepat, karena pemakaian istilah “reformasi” merujuk pada penataan atau memperbaharui sistem yang sudah ada sehingga tidak memiliki sifat radix (mendasar/mengakar) dan cepat dalam melakukan perubahan total. Reformasi dalam konteks pergantian kekuasaan lebih dekat maknanya dengan sikap kompromis antara golongan yang memiliki pengaruh lebih besar di dalam masyarakat dengan kekuatan sosial yang pengaruhnya relatif lebih kecil. Inilah jalan menuju kompromi yang berarti ‘genjatan senjata', dan menutup kemungkinan terjadi konflik atau penggunaan kekerasan. Hal ini dikarenakan, legitimasi reformasi bersumber pada keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas; demokratis.

Mereka menggunakan kesempatan (krisis ekonomi) untuk menuntut distribusi kekuasaan. Tuntutan itu kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat luas. Strategi inilah yang kemudian disebut reformasi, yang berarti mengantarkan masyarakat kepada kondisi sosial-ekonomis yang lebih baik. Ini bukan berarti tanpa kendala sama sekali; malah sebaliknya, musuh utama reformasi: konservatisme dan status quo akan selalu mengintai dan atau mereduplikasi diri dalam gerbong perubahan dengan memakai topeng baru.

Setelah pemerintahan otoriter tersingkir dan demokrasi lamat-lamat mulai menggeliat, perjuangan reformasi masih terus menghadapi tantangan-tantangan yang baru. Absennya sistem (negara) otoriter tidak dengan serta merta menghapuskan perilaku politiknya. Kini, bahkan setelah negara tidak terlampau “menyeramkan” sebagaimana dulu, justru kelompok-kelompok dari dalam masyarakat sendiri yang muncul sebagai penghalang baru bagi kemajuan hak asasi.

Gejala kebebasan yang permisif meluas dan makin menjadi-jadi. Sepertinya kendaraan bangsa ini tidak memiliki kendali yang baik. Apabila dahulu masyarakat dipersatukan di bawah ketakutan sebuah kekuasaan, kini masyarakat yang telah “merdeka” itu mengekspresikan dirinya masing-masing bahkan kadang kebablasan.

Transisi politik dari era otoriterianisme tidak selalu berarti transisi ke era demokrasi. Bisa jadi transisi yang dijalani suatu negara yang baru saja lepas dari kungkungan otoriterianisme adalah suatu masa yang tidak 'berpeta'.

Jenis-jenis kekuatan lama yang menopang otoriterisme Soeharto kini menjadi penopang demokrasi Indonesia pasca-Orba. Fenomena paling krusial adalah tampilnya kekuatan partai politik lama sebagai kekuatan politik nomor satu di negeri ini baik secara nasional maupun lokal. Kalaupun ada sedikit kalangan reformis yang tampil, posisi mereka terpinggirkan. Dalam konteks itulah suatu transisi sosial, ekonomi dan politik tidak sedang berlangsung di Indonesia.

Indonesia adalah 'contoh terbaik' sebuah negara yang gamang dalam melakukan reformasi dan transformasi politik. Berbagai Presiden yang memimpin Indonesia pasca-Orba gagal menjalankan amanat reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih adil, bersih, transparan dan akuntabel. Semua Presiden tersebut menemukan bahwa mereka berada dalam suatu konteks struktur sosial tertentu yang amat membatasi jumlah dan kemungkinan pilihan kebijakan yang ada pada mereka secara sangat riil dan kongkrit.

Diakui, tidak mudah lepas dari cengkeraman politik predatorian ketika infrastruktur politik demokratis kurang tersedia. Persoalan paling krusial pasca-Orba adalah ketika reformasi gagal menggusur kekuatan-kekuatan lama. Sementara itu, kekuatan-kekuatan masyarakat sipil tidak pula berhasil tampil meyakinkan. Walaupun LSM menjamur, mahasiswa sekali-sekali turun ke jalan dan kaum buruh sudah bebas berorganisasi, belum ada koalisi perlawanan berarti terhadap kepentingan-kepentingan dominan. Padahal, dalam konteks demokrasi dan demokratisasi, elemen masyarakat sipil dapat berfungsi sebagai penyeimbang.

Dan akhirnya, ia “mulia” pada hari kematiannya. Prosesi penguburan dengan 20 ribu pelayat. Bendera setengah tiang dikibarkan warga. Tidak ada tokoh besar di dunia yang tidak membelah publik dalam dua golongan besar. Begitu kata Frank Kaffka.

Senin, 27 Januari 2008 menjadi akhir dari sebuah awal putusnya ujung rantai kekuasaan Orde Baru. Mantan Presiden Soeharto (1921-2008) wafat. Sebuah kebetulan belaka jika hari itu juga tengah diperingati sebagai Hari Holocaust sedunia. Jika Harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan gading, maka Soeharto pergi selamanya meninggalkan warisan kasus. Ujung hidupnya diliputi suasana gamang; pemerintahan Yudhoyono tak kunjung memberinya kepastian hukum yang jelas, padahal secara tersirat amanat untuk menuntaskan kasus Soeharto termaktub dalam Tap MPR No. XI Tahun 1998. Sepertinya Bangsa ini mengulangi kesalahan yang sama; saat kematian Soekarno, kasusnya pun digantung tak tanpa vonis yang jelas. Sesuai Tap MPRS No. XXXIII Tahun 1967 pasal 6, ia dimakzul karena terlibat bersama PKI melakukan coup d'etat pada pemerintahannya sendiri, sehingga harus dilakukan pengusutan hukum terhadapnya– yang hingga kini sebenarnya kasus itu tidak bisa terbukti.

Kematian Soeharto adalah sebuah penanda —jika bisa dikatakan begitu— akan amnesia sejarah. Tiba-tiba layar kaca dipenuhi oleh isak tangis dan siaran tentang kisah sukses seorang pemimpin negara; berbagai testimoni berhamburan dari wong alit hingga wong elityang memberikan pandangan retorik, heroik, dan menceritakan glorifikasi masa lalu. Ada romantisme akan minyak murah, swasembada pangan, dan stabilitas ekonomi politik; masa lalu digambarkan begitu indah nyaris tanpa cela. Padahal, di tapal batas kekuasaannya rakyat begitu membenci Soeharto; ia dicaci, serapah menghiasi kehidupan masa tuanya. Kedua kondisi ini secara diametral sangat bertolak belakang.

Konstruksi realitas yang dibangun media di saat meninggalnya Soeharto berhasil membawa pesan akan populisme Soeharto. Tak segan-segan beberapa orang mulai mendeklarasikan diri sebagai kaum Soehartois, dan menyematkan gelar kepahlawanan tanpa tedeng aling-aling . Melalui berbagai instrumen yang dimilikinya, media berperan serta membentuk realitas. Berita di media massa merupakan konstruksi kultural.

Peristiwa kematian Soeharto di usia sepuluh tahun reformasi membawa kita dalam sebuah ceruk kesadaran bahwa masyarakat di luar sana mungkin tidak sepakat dengan proses sejarah yang sedang dialami bangsa ini. Ini bisa dilihat dari sikap mengagungkan romantisme masa lalu—zaman orde baru Soeharto, dan mengumbar serapah pada proses Reformasi yang sedang dijalani, yang tak kunjung membawa perubahan. Ibarat kita menonton sebuah pagelaran, masyarakat kita sudah gerah dan lelah melihat paduan suara dan orkestra politik yang sumbang. Panggung tengah bergoyang, dan para pelakon sedang digugat oleh penonton.

Naskah reformasi sebagai sebuah skenario pergulatan panggung sejarah terkoyak oleh sikap penguasa yang tak terarah untuk memimpin perubahan. Inilah sebuah titik balik terhadap apa yang pernah diperjuangkan, sehingga wajar jika muncul pertanyaan, benarkah reformasi berada di ujung senjakala?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar