Sabtu, 06 Februari 2010

"Surat Dari Seorang Ibu"

Assalamu’alaikum,

Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…

Wahai anakku,

Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…

Wahai anakku!

Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku… 25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…

Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.

Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu grmbira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkonganku.

Wahai anakku… telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya; agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu… itulah kebahagiaanku!

Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.

Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.

Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.

Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku… ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!!

Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku, telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit… Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu cintaku kepadamu masih seperti dulu… Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.

Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?

Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantu dan budakmu. Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!

Wahai anakku!! Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Wahai anakku! Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi. Anakku… Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!

Wahai anakku, ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)

ANAK KU...
Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau berkata: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku!! Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar. Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.

Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?

Anakku, yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)

Anakku… Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada tabib yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak! Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.

Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,

Ibumu

Sumber: buku ‘Kutitip Surat Ini Untukmu’ karya Ustadz Armen Halim Naro, Lc rahimahullah

Selasa, 02 Februari 2010

PERASAAN YG SEDANG BERKECAMUK DIDLAM HATI ANAK BANGSA SEKARANG . . . !!!!!!!!

KECEWA bgt PASTI RAKYAT INDONESIA sekarang nih!!napa semua itu bisa terjadi???katanya INDONESIA adl NEGARA HUKUM!!!yg MELINDUNGI HAK SEMUA RAKYAT NYA GX TERKECUALI SAPA ORNG NYA!!!
MANA????????????????
MAFIA HUKUM MERAJALELA N DIBANTUIN . . .( dibela karenA hanya demi kepentingan pribadi)!!
RAKYAT gx DIBERI PERHATIAN N BANTUAN DLAM MEMENUHI KEBUTUHAN HIDUPNYA!!!
MANA JANJI MEREKA????????
gx ada YG TERLAKSANA SEDIKIT pun!!
klu kayak gini sih!!!
ORANG YANG KAYA TAMBAH KAYA N YG MISKIN TAMBAH MISKIN!!!
APAKAH INI YANG AKAN DUJADIKAN KARAKTER BANGSA INDONESIA???
APAKAH INI CITA2 PARA PAHLAWAN INDONESIA(yg mempertaruhkan jiwa n raganya utk kelangsungan BANGSA nya???
APAKAH INI AKHIRAN DARI SEJARAH INDONESIA????
RAKYAT YANG MISKIN . . . DEMI MENCARI UANG IA RELA MEMPERTARUHKAN NYAWANYA!!!(CONTOH = ni FAKTA . . . ada sekelompok NELAYAN mencari ikan ke laut(walaupun sudah diperingat kan oleh BMKG bahwa dilaut itu sedang terjadi gelombang besar!!!dan dilarang utk melaut!!!tp merka masih melaut!!!)
MENGAPA?????????
karena klu mereka tidak pergi kelaut!!ANAK2 MEREKA GX MAKAN!!!
DEMI SESUAP NASI TUK ANAK2 NYA,MEREKA RELA MENGORBANKAN NYAWANYA!!!
APAKAH ITU SALAH?????
GAK KAN!!
ORNG2 SEPERTI ITU TIDAK MENDAPATKAN PERHATIAN PEMERINTAH!!!
TIDAK MENDAPATKAN HAK NYA SBG MANUSIA!!!
BAGAIMANA BISA DIKATAKAN PEMERINTAHAN SEKARANG BERHASIL!!!
SEDANGKAN RAKYAT NYA MASIH KELAPARAN!!!
SUPAYA PEKERJAAN YG DILAKUKAN PARA PEMIMPIN KITA BAGUS!!!HARUS DIBERI MOBIL DINAS!!!YA RANI SIH SETUJU!!!TP KLU HARGANYA SAMPE 1,3 M !!!MIKIR2 OY . . .
MAU NYIKSA RAKYAT KAMU TUH!!MOBIL DINAS PERDANA MENTERI JEPANG AJA CUMA 300 JUTAAN!!!KITA MAU 1,3 M . . . TAU DIRI OY . . .RAKYAT LEBIH MEMERLUKAN UANG ITU.........
INGET negara JEPANG TUH ADLl NEGARA TERMAJU NO 2 DIDUNIA!!!
KITA??????????
MASIH BERKEMBANG!!!UDAH MAU PAMER!!!
PARAH BGT SIH PEMERINTAH!!!
KATANYA ORNG TERDIDIK SEMUA YG DUDUK DISANA!!!KNAPA BISA TEROBOSAN2 BARU MEREKA TDK BERMANFAAT BAGI SEMUA!!HANYA BERMANFAAT BAGI DIRINYA SENDIRI!!!

INGET PAK PEMIMPIN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
1.JANJI ADL HUTANG . . . HUTANG HARUS DIBAYAR . . .
2.CINTAKAH KALIAN DGN BANGSA NI???
3.APAKAH KALIAN SEMUA MENGERTI DGN ARTI KEHIDUPAN??
4.APA YG MENJADI ALASAN KALIAN MAU JADI PEMIMPIN???DEMI NAFSU ATAU TULUS DR HATI???
BAGI YG MENGAKU PEMIMPIN!!!
JAWABLAH PERTANYAAN NIH SEMUA!!!
JAWABLAH DR LUBUK HATI YG PALING DALAM!!!JU2R . . .
DAN BERKACA LAH!!!
APAKAH ANDA PANTAS MEMIMPIN NEGERI INI!!!!
MEMIMPIN DGN SEGALA RESIKO YG ADA!!!
APAKAH ANDA MAMPU MENYAMPINGKAN URUSAN PRIBADI ANDA???DEMI TANAH AIR NI YG SUDAH SUSAH PAYAH DIPERTAHANKANNYA OLEH PARA PAHLAWAN??
APAKAH ANDA MAU DICATAT OLEH SEJARAH ATAS KEPEMIMPINAN ANDA YG ULET!!!
SEKALIAN . .
APAKAH ANDA MAU MENGABDI DGN NEGARA NIH??
KLU SOAL NIH DITANYAKAN DGN PEMIMPIN INDONESIA SEKARANG!!!
RANI SUDAH TAU JAWABANNYA!!!
RANI BERHARAP!!!
PARA PEMIMPIN INDONESIA DI MASA DEPAN TDK SEPERTI NIH TERMASUK RANI!!!
AMIEN

IMPLEMENTASI PANCASILA

Setahun setelah pemerintahan Belanda mengakui kedaulatan RI, tepatnya pada tahun 1950, obligasi Republik Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah. Peristiwa ini menandai mulai aktifnya kembali Pasar Modal Indonesia.

Didahului dengan diterbitkannya Undang-undang Darurat No. 13 tanggal 1 September 1951, yang kelak ditetapkankan sebagai Undang-undang No. 15 tahun 1952 tentang Bursa, pemerintah RI membuka kembali Bursa Efek di Jakarta pada tanggal 31 Juni 1952, setelah terhenti selama 12 tahun. Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek-efek (PPUE) yang terdiri dari 3 bank negara dan beberapa makelar Efek lainnya dengan Bank Indonesia sebagai penasihat.

Sejak itu Bursa Efek berkembang dengan pesat, meskipun Efek yang diperdagangkan adalah Efek yang dikeluarkan sebelum Perang Dunia II. Aktivitas ini semakin meningkat sejak Bank Industri Negara mengeluarkan pinjaman obligasi berturut-turut pada tahun 1954, 1955, dan 1956. Para pembeli obligasi banyak warga negara Belanda, baik perorangan maupun badan hukum. Semua anggota diperbolehkan melakukan transaksi abitrase dengan luar negeri terutama dengan Amsterdam.

Masa Konfrontasi

Namun keadaan ini hanya berlangsung sampai pada tahun 1958, karena mulai saat itu terlihat kelesuan dan kemunduran perdagangan di Bursa. Hal ini diakibatkan politik konfrontasi yang dilancarkan pemerintah RI terhadap Belanda sehingga mengganggu hubungan ekonomi kedua negara dan mengakibatkan banyak warga negara Belanda meninggalkan Indonesia.

Perkembangan tersebut makin parah sejalan dengan memburuknya hubungan Republik Indonesia dengan Belanda mengenai sengketa Irian Jaya dan memuncaknya aksi pengambil-alihan semua perusahaan Belanda di Indonesia, sesuai dengan Undang-undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958.

Kemudian disusul dengan instruksi dari Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) pada tahun 1960, yaitu larangan bagi Bursa Efek Indonesia untuk memperdagangkan semua Efek dari perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, termasuk semua Efek yang bernominasi mata uang Belanda, makin memperparah perdagangan Efek di Indonesia.

Tingkat inflasi pada waktu itu yang cukup tinggi ketika itu, makin menggoncang dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pasar uang dan pasar modal, juga terhadap mata uang rupiah yang mencapai puncaknya pada tahun 1966.

Penurunan ini mengakibatkan nilai nominal saham dan obligasi menjadi rendah, sehingga tidak menarik lagi bagi investor. Hal ini merupakan pasang surut Pasar Modal Indonesia pada zaman Orde Lama.
Setelah bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan negara merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa dikatakan baru mulai, yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the founding father) telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-nilai yang telah ada dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.


Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No. I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga sekarang.


Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan kesatuan NKRI.


Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi presiden yang pertama Republik Indonesia.


Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.


Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu.



a. Masa Orde Lama.


Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka. Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.

Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.

Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat, melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan.

Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila, dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.

Senin, 01 Februari 2010

keaaan politik pada era orde baru...............

Sejarah Indonesia (1968-1998)

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

Masa Jabatan Suharto

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998

Politik

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebutlustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat denganCendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepadaJakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi

Eksploitasi sumber daya

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an

Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah wargapribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan

Perpecahan bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama keKalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papuayang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran

Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

  • Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
  • Sukses transmigrasi
  • Sukses KB
  • Sukses memerangi buta huruf
  • Sukses swasembada pangan
  • Pengangguran minimum
  • Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
  • Sukses Gerakan Wajib Belajar
  • Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
  • Sukses keamanan dalam negeri
  • Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
  • Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam

    Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

    • Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
    • Ppembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat
    • Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
    • Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
    • Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)
    • Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
    • Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel
    • Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
    • Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya

      Krisis finansial Asia

      Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia

      Pasca-Orde Baru

      Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".

      Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".


berharap..... dan berjuang.......

Di tengah berjuta harap, ada kecemasan panjang yang tak kunjung surut. Perubahan yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Harapan penuntasan korupsi, stabilitas ekonomi-politik, dan kedaulatan bangsa terkoyak oleh kekuasaan yang terus sibuk mengurusi dirinya.

Sungguh, kondisi ini sangat tidak aneh karena proses peralihan rezim kekuasaan hanya bersifat change to change dan transaksional, bukan lagi transisional. Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim “baru,” yang berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang berubah topeng dalam suasana reformasi.

Politik mengalami kondisi anomali. Sistem politik yang dibangun saat ini kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi. Akibatnya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.

Mungkin bisa jadi ini adalah konsekuensi dari pilihan perjuangan menggunakan diksi reformasi. Sekali lagi, inilah kemenangan semantik kelompok pro status quo. Reformasi akhirnya bersifat elusive jika dipaksakan untuk perubahan yang cepat, karena pemakaian istilah “reformasi” merujuk pada penataan atau memperbaharui sistem yang sudah ada sehingga tidak memiliki sifat radix (mendasar/mengakar) dan cepat dalam melakukan perubahan total. Reformasi dalam konteks pergantian kekuasaan lebih dekat maknanya dengan sikap kompromis antara golongan yang memiliki pengaruh lebih besar di dalam masyarakat dengan kekuatan sosial yang pengaruhnya relatif lebih kecil. Inilah jalan menuju kompromi yang berarti ‘genjatan senjata', dan menutup kemungkinan terjadi konflik atau penggunaan kekerasan. Hal ini dikarenakan, legitimasi reformasi bersumber pada keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas; demokratis.

Mereka menggunakan kesempatan (krisis ekonomi) untuk menuntut distribusi kekuasaan. Tuntutan itu kemudian mendapat pengakuan dari masyarakat luas. Strategi inilah yang kemudian disebut reformasi, yang berarti mengantarkan masyarakat kepada kondisi sosial-ekonomis yang lebih baik. Ini bukan berarti tanpa kendala sama sekali; malah sebaliknya, musuh utama reformasi: konservatisme dan status quo akan selalu mengintai dan atau mereduplikasi diri dalam gerbong perubahan dengan memakai topeng baru.

Setelah pemerintahan otoriter tersingkir dan demokrasi lamat-lamat mulai menggeliat, perjuangan reformasi masih terus menghadapi tantangan-tantangan yang baru. Absennya sistem (negara) otoriter tidak dengan serta merta menghapuskan perilaku politiknya. Kini, bahkan setelah negara tidak terlampau “menyeramkan” sebagaimana dulu, justru kelompok-kelompok dari dalam masyarakat sendiri yang muncul sebagai penghalang baru bagi kemajuan hak asasi.

Gejala kebebasan yang permisif meluas dan makin menjadi-jadi. Sepertinya kendaraan bangsa ini tidak memiliki kendali yang baik. Apabila dahulu masyarakat dipersatukan di bawah ketakutan sebuah kekuasaan, kini masyarakat yang telah “merdeka” itu mengekspresikan dirinya masing-masing bahkan kadang kebablasan.

Transisi politik dari era otoriterianisme tidak selalu berarti transisi ke era demokrasi. Bisa jadi transisi yang dijalani suatu negara yang baru saja lepas dari kungkungan otoriterianisme adalah suatu masa yang tidak 'berpeta'.

Jenis-jenis kekuatan lama yang menopang otoriterisme Soeharto kini menjadi penopang demokrasi Indonesia pasca-Orba. Fenomena paling krusial adalah tampilnya kekuatan partai politik lama sebagai kekuatan politik nomor satu di negeri ini baik secara nasional maupun lokal. Kalaupun ada sedikit kalangan reformis yang tampil, posisi mereka terpinggirkan. Dalam konteks itulah suatu transisi sosial, ekonomi dan politik tidak sedang berlangsung di Indonesia.

Indonesia adalah 'contoh terbaik' sebuah negara yang gamang dalam melakukan reformasi dan transformasi politik. Berbagai Presiden yang memimpin Indonesia pasca-Orba gagal menjalankan amanat reformasi untuk menciptakan pemerintahan yang lebih adil, bersih, transparan dan akuntabel. Semua Presiden tersebut menemukan bahwa mereka berada dalam suatu konteks struktur sosial tertentu yang amat membatasi jumlah dan kemungkinan pilihan kebijakan yang ada pada mereka secara sangat riil dan kongkrit.

Diakui, tidak mudah lepas dari cengkeraman politik predatorian ketika infrastruktur politik demokratis kurang tersedia. Persoalan paling krusial pasca-Orba adalah ketika reformasi gagal menggusur kekuatan-kekuatan lama. Sementara itu, kekuatan-kekuatan masyarakat sipil tidak pula berhasil tampil meyakinkan. Walaupun LSM menjamur, mahasiswa sekali-sekali turun ke jalan dan kaum buruh sudah bebas berorganisasi, belum ada koalisi perlawanan berarti terhadap kepentingan-kepentingan dominan. Padahal, dalam konteks demokrasi dan demokratisasi, elemen masyarakat sipil dapat berfungsi sebagai penyeimbang.

Dan akhirnya, ia “mulia” pada hari kematiannya. Prosesi penguburan dengan 20 ribu pelayat. Bendera setengah tiang dikibarkan warga. Tidak ada tokoh besar di dunia yang tidak membelah publik dalam dua golongan besar. Begitu kata Frank Kaffka.

Senin, 27 Januari 2008 menjadi akhir dari sebuah awal putusnya ujung rantai kekuasaan Orde Baru. Mantan Presiden Soeharto (1921-2008) wafat. Sebuah kebetulan belaka jika hari itu juga tengah diperingati sebagai Hari Holocaust sedunia. Jika Harimau mati meninggalkan belang, gajah meninggalkan gading, maka Soeharto pergi selamanya meninggalkan warisan kasus. Ujung hidupnya diliputi suasana gamang; pemerintahan Yudhoyono tak kunjung memberinya kepastian hukum yang jelas, padahal secara tersirat amanat untuk menuntaskan kasus Soeharto termaktub dalam Tap MPR No. XI Tahun 1998. Sepertinya Bangsa ini mengulangi kesalahan yang sama; saat kematian Soekarno, kasusnya pun digantung tak tanpa vonis yang jelas. Sesuai Tap MPRS No. XXXIII Tahun 1967 pasal 6, ia dimakzul karena terlibat bersama PKI melakukan coup d'etat pada pemerintahannya sendiri, sehingga harus dilakukan pengusutan hukum terhadapnya– yang hingga kini sebenarnya kasus itu tidak bisa terbukti.

Kematian Soeharto adalah sebuah penanda —jika bisa dikatakan begitu— akan amnesia sejarah. Tiba-tiba layar kaca dipenuhi oleh isak tangis dan siaran tentang kisah sukses seorang pemimpin negara; berbagai testimoni berhamburan dari wong alit hingga wong elityang memberikan pandangan retorik, heroik, dan menceritakan glorifikasi masa lalu. Ada romantisme akan minyak murah, swasembada pangan, dan stabilitas ekonomi politik; masa lalu digambarkan begitu indah nyaris tanpa cela. Padahal, di tapal batas kekuasaannya rakyat begitu membenci Soeharto; ia dicaci, serapah menghiasi kehidupan masa tuanya. Kedua kondisi ini secara diametral sangat bertolak belakang.

Konstruksi realitas yang dibangun media di saat meninggalnya Soeharto berhasil membawa pesan akan populisme Soeharto. Tak segan-segan beberapa orang mulai mendeklarasikan diri sebagai kaum Soehartois, dan menyematkan gelar kepahlawanan tanpa tedeng aling-aling . Melalui berbagai instrumen yang dimilikinya, media berperan serta membentuk realitas. Berita di media massa merupakan konstruksi kultural.

Peristiwa kematian Soeharto di usia sepuluh tahun reformasi membawa kita dalam sebuah ceruk kesadaran bahwa masyarakat di luar sana mungkin tidak sepakat dengan proses sejarah yang sedang dialami bangsa ini. Ini bisa dilihat dari sikap mengagungkan romantisme masa lalu—zaman orde baru Soeharto, dan mengumbar serapah pada proses Reformasi yang sedang dijalani, yang tak kunjung membawa perubahan. Ibarat kita menonton sebuah pagelaran, masyarakat kita sudah gerah dan lelah melihat paduan suara dan orkestra politik yang sumbang. Panggung tengah bergoyang, dan para pelakon sedang digugat oleh penonton.

Naskah reformasi sebagai sebuah skenario pergulatan panggung sejarah terkoyak oleh sikap penguasa yang tak terarah untuk memimpin perubahan. Inilah sebuah titik balik terhadap apa yang pernah diperjuangkan, sehingga wajar jika muncul pertanyaan, benarkah reformasi berada di ujung senjakala?

keadaan politik dalam era reformasi

Keadaan Politik Sekarang dalam era reformasi.

Keadaan Dewasa Ini Meskipun kran demokrasi telah dibuka secara luas sejalan dengan bergulimya proses reformasi, namun perkembangan demokrasi belum terarah secara baik dan aspirasi masyarakat belum terserap secara maksimal. Distorsi atas aspirasi, kepentingan, dan kekuasaan rakyat masih sangat terasa dalam kehidupan politik, baik dari elit politik, penyelenggara pemerintah, maupun kelompok-kelompok kepentingan. Di lain pihak, institusi pemerintah tidak jarang berada pada posisi tidak berdaya menghadapi kebebasan yang terkadang melebihi batas kepatutan, sebab walaupun kebebasan yang berlebihan tersebut bersifat kontekstual dan polanya tidak melembaga, cenderung mengarah pola tindakan anarkis.
Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan.
Secara harfiah reformasi itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu tindakan perubahan menjadi sesuatu yang lebih baik. Era reformasi hadir di Indonesia sejak pertengahan tahun 1998 disaat masa berakhirnya kepemimpinan Soeharto. Dimana pada saat itu dimulai dari para mahasiswa melakukan demo besar-besaran sampai menguasai gedung MPR/DPR menuntut turunnya Soeharto dari kepemimpinan.
Semenjak saat itu masyarakat Indonesia menjadi sangat terbiasa dengan tindakan demonstrasi (atau biasa disingkat menjadi ‘demo'). Pelaku demo tidak hanya kelompok mahasiswa BEM, mahasiswa biasa, dan masyarakat umum, bahkan sampai kepada ibu-ibu dan anak-anak pun seringkali turut turun ke jalan untuk melakukan demo terhadap suatu hal yang mereka tentang atau suatu maksud perubahan yang mereka tuntut kepada pemerintah.
Keadaan Pemerintah Indonesia belakangan ini memang selalu mendukung bagi masyarakat untuk melakukan demo, dalam artian pemerintah selalu mengambil tindakan yang bertentangan dengan kehendak rakyat dan cenderung mengabaikan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Tindakan yang diambil pemerintah tersebut dapat disebut sebagai kebijakan publik, dimana arti dari kebijakan publik itu sendiri adalah what government choose to do or not to do. Ada pula yang mengartikan sebuah kebijakan publik adalah sebuah instrumen pemerintahan, bukan saja dalam arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan pula governance yang menyentuh pengelolaan sumber daya publik.

Kebijakan publik pada intinya merupakan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya alam, finansial dan manusia demi kepentingan publik. Selama ini memang pemerintah Indonesia cenderung mengabaikan sisi kepentingan publik dalam proses pembentukan kebijakan yang akan diterapkan.

Keadaan tersebutlah yang membuat masyarakat menjadi geram dan akhirnya terus menerus melakukan demo, yang pada akhirnya seringkali berakhir menjadi tindakan anarkis. Hal yang sangat disayangkan adalah jika tindakan anarkis tersebut sampai merusak fasilitas umum, mengganggu ketenangan masyarakat dan bahkan sampai menelan nyawa seorang anak manusia.

Memang sulit rasanya untuk meredam amarah rakyat yang sudah jemu terhadap pemerintahan ini, namun alangkah baiknya jika ingin memperjuangkan nasib rakyat jangan sampai merugikan rakyat sendiri itu juga. Seluruh rakyat Indonesia memang sedang merasa dirugikan oleh pemerintahnya sendiri, karenanya jangan sampai kita sesama rakyat ikut saling merugikan hanya karena amarah terhadap pemerintah.

Banyaknya kasus yang lebih mengedepankan kepentingan politik daripada penegakan supremasi hukum dan penghargaan atas hak asasi manusia serta persatuan dan kesatuan bangsa, merupakan contoh betapa kerasnya usaha yang harus diperjuangkan dalam mempercepat proses penegakkan demokrasi yang benar. Oleh karena itu diperlukan karakter budaya politik dan tingkat pendidikan politik yang representatif dapat menjadi faktor penting terwujudnya kehidupan demokrasi yang bermartabat.
Strategi Kebijakan Untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi, maka strategi kebijakan pembangunan politik yang ditetapkan adalah :
(a) fasilitasi penyeienggaraan pendidikan politik secara intensif dan komprehensif;

(b) peningkatan partisipasi politik masyarakat, dengan meningkatkan keikutsertaan rakyat dalam proses penentuan keputusan oan kebijakan daerah;

(c) peningkatan peran dan fungsi lembaga legislatif, sehingga lebih mampu melaksanakan kegiatan sesuai dengan fungsinya;

(d) mendukung peiaksanaan/ penyeienggaraan Pemiiu yang lebih demokratis, jujur dan adil dalam rangka penegakan kedaulatan rakyat di segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Peningkatan Peran Lembaga Legislatif Program ini bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga legislatif sebagai institusi politik yang mampu menjabarkan aspirasi rakyat, terciptanya mekanisme kontrol yang efektif, mendorong proses demokratisasi serta menciptakan iklim yang mendukung terwujudnya sikap keterbukaan dan tanggungjawab. Program ini meliputi kegiatan:
(1) peningkatan peran lembaga egislatif secara proporsional dan lebih peka, inovatif, aspiratif terhadap keinginan masyarakat;

(2) peningkatan peran lembaga legislatif dalam menjalankan fungsi kontrol.
Jadi, menurut pendapat yang saya miliki adalah :
boleh-boleh saja mahasiswa unjuk suara sebagai bentuk partisipasi dan perhatian terhadap keadaan bangsa kita saat ini...
namun menurut saya pribadi
apakah tidak sebaiknya kita berpikir kedepan untuk memajukan bangsa kita dengan penemuan2 atau prestasi2 yang dapat kita torehkan untuk bangsa ini.
dan sebaiknya kita belajar lebih giat dan tidak bermalas2an atau membuang waktu dengan percuma...

Jangan sekali-kali membuat kerusakan atau bertindak anarki... karena menurut saya... Berapa banyak dana yang telah kita keluarkan untuk pembangunan harus dibuang percuma dan akhirnya kita harus membangun lagi..?
Dana yang harusnya di keluarkan untuk kepentingan negara justru malah digunakan untuk perbaikan....
tidak akan efektif...
malah dapat menghambat bangsa Indonesia untuk maju...

cobalah kita renungkan baik-baik
memang bangsa kita sedang dalam "cobaan"
tapi alangkah baiknya kalau kita tabah dan coba menghadapinya dengan ikhlas dan tetep semangat...
toh banyak bangsa2 lain juga menghadapinya...
saya pribadi tetap yakin bahwa semua kebijakan yang telah bapak presiden ambil adalah hal yang terbaik untuk kita...
apakah solusi pergantian presiden untuk saat ini adalah hal yang terbaik? Menurut saya tidak...
Memang perbedaan pasti ada...
tapi alangkah lebih baik kita satukan langkah untuk menuju Indonesia yang lebih cerah...